Rasanya slow living di kota kecil

Bagaimana rasanya melakukan slow living di desa di kabupaten atau kota terkecil di Jawa Tengah? Berikut ini adalah pengalaman saya dan keluarga selama slow living di Kudus.

Keluarga kecil kami meninggalkan kota Depok, Jawa Barat, pada tanggal 1 April 2016. Dengan demikian tahun 2025 ini akan menjadi tahun ke sembilan kami di kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Jika dibandingkan dengan hiruk pikuk kehidupan di Jabodetabek, hidup yang kami jalani saat ini lebih menenangkan, lebih menyenangkan, dan lebih membahagiakan. Pendek kata kualitas hidup meningkat.

Perubahan persepsi jarak dan waktu 

Dengan luas wilayah 425,15 kilometer per segi, Kudus memiliki predikat sebagai kabupaten terkecil di Jawa Tengah. Dari ujung ke ujung, kabupaten ini dapat dilintasi paling lama satu jam. Akibatnya persepsi kami mengenai jarak dan waktu tempuh berubah. Ketika tinggal di Jabodetabek, waktu tempuh setengah jam masih tergolong normal dan dianggap dekat. Setelah lama tinggal di Kudus, bagi kami waktu tempuh setengah jam itu sudah tergolong jauh. Di sini suatu lokasi dibilang dekat jika waktu tempuh untuk menjangkaunya masih dalam hitungan menit.

Putri saya, Rara, biasa saya antar ke sekolah jam 06.20 padahal gerbang sekolah ditutup pukul 06.30. Dari rumah kami di Prambatan ke sekolahnya di desa Gribig, hanya perlu waktu lima menit mengendarai motor dengan kecepatan sedang. 

Indahnya gunung Muria. Pemandangan ini yang selalu saya saksikan setiap pagi ketika mengantar anak ke sekolah.
Indahnya Gunung Muria. Pemandangan memukau seperti ini yang selalu saya saksikan setiap pagi ketika mengantar anak ke sekolah. Jalan juga masih sepi dan tidak perlu terburu-buru. 

Lebih sabar dan penuh perhitungan jika ingin belanja atau bepergian dengan angkutan umum

Meskipun kemana-mana terasa dekat, tapi kota kecil seperti Kudus ini juga ada minusnya. Kebanyakan toko-toko serta angkutan umum berhenti beroperasi setelah pukul 17.00. 

Bahkan beberapa toko, contohnya toko kertas dekat menara Kudus langganan saya, Aka Machin, tutup ketika masuk waktu Dzuhur, dan baru buka kembali setelah jam 13.00. Toko Asiah di Prambatan, juga senada. Tutup setiap waktu shalat. Ada juga bengkel mobil Habiba yang tutup setiap Jum'at. 

Prinsip ini disebut Gusjigang. Ajaran warisan Sunan Kudus, akronim dari bagus, ngaji, dagang. Agar warga Kudus mampu hidup secara harmonis antara urusan dunia dan urusan akhirat.

Meskipun demikian, kebiasaan ini mulai terkikis modernisasi karena menjamurnya minimarket yang beroperasi hingga jam sembilan malam.

Malam hari diwarnai kegiatan agama

Banyak kegiatan di mushola dan masjid di malam hari. Sudah jamak ada kegiatan terbangan, sholawatan, barzanji, dan pengajian umum. Biasanya diadakan setelah shalat Isya. 

Orang sudah maklum meskipun acara-acara tersebut menggunakan pengeras suara. Justru jika tidak ada, maka malam terasa sepi dan hening seperti jaman pandemi Covid. 

Tapi pengeras suara ini juga masih ada sopannya. Tidak terlalu keras dan jika melebihi jam sembilan malam, maka speaker luar dimatikan.

Urusan terbangan, barzanji, dan pengajian umum ini sempat juga memusingkan saya ketika menyusun jadwal les anak-anak. Karena banyak permintaan agar jadwal les tidak bentrok dengan jadwal pengajian. Harus sabar dan pintar-pintarnya kita saja tarik ulur. 

Modal senyum mudah dikenal orang

Kota kecil meningkatkan probabilitas kita akan sering bertemu orang yang sama. Karena sering bertemu makin lama akan semakin mengenal. Meskipun kadang hanya kenal wajahnya. 

Tersenyumlah dan sedikit mengangguk ketika berpapasan dengan orang lain meskipun belum kita kenal. Orang Kudus ramah-ramah kok. Mereka akan membalas senyum kita. Apalagi kalau disertai sapaan Pak, Bu, mas, atau mbak.

Seringkali ketika mengendarai sepeda motor berboncengan dengan istri, ada pengendara lain yang membunyikan bel dan tersenyum kepada kami. Padahal kami tidak merasa kenal. 

Bahagia lho rasanya ketika bertukar senyuman. Merasa dihargai sebagai manusia dan tidak lagi merasa sendiri. Level kebahagiaan seakan dicharge sampai full.

Banyak waktu luang sehingga makin kreatif

Setelah tinggal di Kudus, istri saya jadi merasa banyak nganggurnya. Mulailah dia memutar otak bagaimana mengisi waktu luang agar terlihat sibuk.

Kegiatan istri saat ini adalah membuat kreatifitas anyaman dari bahan alam terutama dari enceng gondok. Sering ikut pameran dan diminta wawancara oleh beberapa media lokal, siswa sekolah dan anak kuliah.di Kudus.

Murni Wijayanti memamerkan kerajinan anyaman enceng gondok di Murni Handycraft, Prambatan Lor, Kudus.
Istri saya, Murni Wijayanti, sedang memamerkan hasta karya anyaman enceng gondok di Murni Handycraft, Prambatan Lor, Kudus

Sedangkan kegiatan saya di pagi hari adalah merumput, alias memotong rumput di halaman. Anggap saja bagian dari olah raga agar tidak kelihatan gabut.

Hubungan antar anggota keluarga makin erat

Bisa meluangkan waktu bercengkrama dengan keluarga. Saya, istri, dan anak punya banyak waktu dan kesempatan bertemu setiap harinya.

Jika hari libur dan ada rezeki lebih, kami makan malam di luar. Banyak penjual makanan di sepanjang jalan ke arah alun-alun. Kalau hanya untuk bersantai bersama keluarga sambil makan lesehan, tidak perlu jauh-jauh ke Malioboro. Yang penting selalu quality time.

Tubuh makin sehat

Di Kudus masih banyak lapangan yang rutin dimanfaatkan warga untuk rekreasi dan olahraga. Salah satunya adalah lapangan Gribig. Lapangan ini digunakan warga untuk olahraga. Di pagi hari banyak yang sekedar jogging dan jalan kaki keliling lapangan. Nanti di sore hari, digunakan anak-anak untuk latihan sepak bola. 

Lapangan gribig, kecamatan Gebog, kabupaten Kudus
Rara bersama teman-teman seusai pentas tari. Tampak di latar belakang adalah lapangan gribig dengan rumput yang menghijau ketika memasuki musim penghujan

Di sekitar lapangan banyak penjual jajanan dan warung makan. Beres olahraga kami biasa langsung sarapan di sini. 


Agar tidak bosan, kadang kami jalan kaki ke Menara Kudus. Di timur menara, ada lapangan kecil dengan pohon beringin besar. Berdasarkan catatan, lapangan ini adalah alun-alun Kudus yang asli. 

Demikian sekelumit pengalaman saya bersama keluarga. Rasanya slow living, tinggal dan hidup di kota kecil, bahkan kabupaten terkecil di Jawa Tengah. 

Bagi Anda yang ingin merasakan slow living demi kebahagiaan jiwa mungkin perlu mencobanya.

Comments